NILAI-NILAI
DIDAKTIS NOVEL “RAUMANEN”
KARYA MARIANNE
KATOPO
Disusun Oleh
Nama NPM
Surtiati
Handayani Sinaga 14110145
Grup :
D
Dosen Pengasuh : Surung Siallagan, M.Pd
Mata Kuliah : Kritik Sastra
Dosen Pengasuh : Surung Siallagan, M.Pd
Mata Kuliah : Kritik Sastra
Sinopsis Novel Raumanen
Pengarang
: Marianne Katoppo (9 Juni 1943)
Penerbit : Gaya Favorit Press
Tahun : 1977; Cetakan II, 1986
Raumanen, yang biasa dipanggil Manen, adalah
seorang gadis Manado berumur 18 tahun. Ia aktif dalam kegiatan organisasi di
Jakarta. Berbagi acara atau kegiatan yang diselenggarakan organisasinya diikuti
Manen. Pada suatu acara ia berkenalan dengan insinyur muda bernama Monang.
Perkenalan
antara Manen dan Monang berlanjut terus. Keduanya tidak sekadar sering
berjumpa, tetapi kerap dilanjutkan dengan berjalan bersama-sama. Lambat-laun
hubungan mereka makin rapat. Manen menyadari bahwa hubungannya dengan insinyur
muda itu hanya sebatas hubungan sesama teman. Bahkan ia merasa lebih tepat
sebagai seorang “adik” kecil bagi Monang. Jadi, Manen tidak perlu risau pada
nasihat teman-temannya yang mengatakan bahwa Monang “si perebut hati wanita”
sedang mencari korban berikutnya. Dengan perasaan bahwa dirinya diperlakukan
hanya sebagai seorang “adik” dan dalam pandangannya Monang lebih bertingkah
laku sebagai seorang kakak terhadapnya, Manen tetap melanjutkan hubungannya
dengan Monang.
Perkembangan
berikutnya menunjukkan bahwa hubungan mereka meningkat lebih mesra. Kembali,
teman-temannya Manen merasa perlu mengingatkannya akan tabiat Monang agar ia
menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Di samping itu, ibunya –juga
teman-temannya- memperingatkan Manen tentang adat yang mengikat anak laki-laki
dari keluarga Batak. Semua peringatan itu ternyata tak membuat Manen memutuskan
hubungannya dengan Monang. Sebaliknya, hubungan keduanya makin mesra.
Bagi
Manen, rupanya hubungan itu telah menyadarkan dirinya bahwa inilah untuk
pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta. Ya, itulah cinta pertamanya.
Sebaliknya bagi Monang, Manen termasuk salah satu gadis dari sekian gadis yang
ditaklukkannya. Sebenarnya, dapat saja Monang menjadikan Manen sebagai korban
yang kesekian dan kemudian meninggalkannya. Namun, keluguan gadis Manado itu
telah membuat insinyur muda itu amat menyayanginya; suatu perasaan yang
sebelumnya tak pernah terjadi dalam petualangan cinta Monang. Bahkan Monang
merasakan baru Manenlah yang mengerti perasaannya. Inilah salah satu alasan
yang membuat pemuda itu tak ingin meninggalkan Manen.
Kemesraan kedua insan itu pada akhirnya sampai
jua pada titik yang melampaui batas larangan. Sebuah bungalow di Cibogo
merupakan saksi perbuatan mereka. Apa yang terjadi di tempat itu adalah suatu
mimpi buruk bagi Manen seumur hidup tak dapat dilupakannya.
Monang
berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Ia akan mengawini Manen.
“Kalau cuma itu sebabnya hingga kau mau kawin denganku kurasa lebih baik kaulupakan saja,” kata Manen
(hlm. 48). Gadis itu tak mau kawin dengan lelaki yang menikahinya hanya karena
terpaksa. Perkawinan harus dilandasi cinta, tegas Manen.
Akan
tetapi, Monang rupanya memilih cara lain mengungkapkan cintanya. Tak pernah
sekali pun kata cinta keluar dari mulut lelaki itu; padahal, ucapan itu sangat
dibutuhkan oleh kekasihnya, Manen. Hal itu juga yang membuat Manen merasa ragu
akan niat kekasihnya untuk mengawininya, walaupun pemuda itu sudah berusaha
memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya dan mempersiapan rumah yang akan
mereka tinggali kelak. Manen masih ragu. Ia terlalu lugu hingga belum dapat
menerjemahkan sikap Monang sebagai ungkapan pernyataan cintanya. Ia masih
menunggu kekasihnya mengucapkan kata cinta. Namun, Monang tidak pernah
mengungkapkan kata itu. Sementara itu, perbuatan yang mestinya tidak mereka
lakukan lagi –karena keduanya belum sah sebagai suami-istri- terulang kembali
dan terus terulang kembali. Sampai akhirnya, Manen hamil.
Di lain pihak, Monang berusaha membujuk
keluarganya untuk menerima Manen sebagai bagian dari keluarganya, tidak
berhasil. Mengingat Monang lahir sebagai anak sulung dalam keluarganya,
keputusan keluarga berdasarkan adat Batak adalah: Monang harus kawin dengan
gadis sesuku. Inilah keputusan keluarga yang tak dapat diganggu-gugat dan harus
dipatuhi.
Berbeda
dengan sikap keluarga Monang yang masih kukuh mempertahankan tradisi adat
leluhurnya, orang tua Manen “begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya.
Bagi mereka Indonesia itu bukan cuma istilah kosong saja, yang dapat
sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan
leluhur Minahasa” (hlm. 21).
Ketika Manen menyampaikan kabar tentang
kehamilannya, Monang begitu gembira membayangkan anak, darah dagingnya sendiri.
Sebaliknya, Manen sendiri malah merasa takut. Kondisi fisiknya tak mengizinkan
punya anak. “Ia akan menjadi buta atau gila apabila melahirkan anak” (hlm. 73).
Hasil diagnose seorang dokter, yang juga kawan Manen, menyatakan bahwa anak
yang dikandungnya akan lahir cacat. Penyebabnya adalah penyakit syphilis yang
diidap Monang. Dokter kemudian menyarankan agar anak yang dikandungnya
digugurkan. Tentu saja Manen menolaknya. Ia tak mau membunuh anaknya sendiri.
Ia rela menderita, sungguhpun itu disebabkan oleh kehidupan Monang yang tak
bersih.
Suatu
saat Manen mengurung diri di kamarnya. Ia teringat kisah kasihnya dengan
Monang; teringat kebahagiaan dan kesedihannya bersama kekasih pertama sekaligus
terakhirnya. Manen tak mampu menutupi rasa salahnya yang dalam. Inilah hasil
perbuatannya melanggar ketentuan Tuhan dan “… Aku terbuang selama-lamanya dari
Tuhan dan Manusia” (hlm. 92). Manen tak kuasa menerima kenyataan itu. Lalu, ia
memilih jalannya sendiri, menghukum dirinyasendiri. Ia lari dari kenyataan
hidup. Ia bunuh Source:
Nilai-nilai Didaktis Novel Raumanen
1. Nilai
Pendidikan
Nilai pendidikan
merupakan hal-hal penting yang mengajarkan tentang pendidikan didalam suatu
karya sastra. Contoh nilai pendidikan pada novel Raumanen karya Marianne Katopo
adalah sebagai berikut.
Tokoh
orangtua Manen juga tidak disebutkan namanya. Tokoh ini digambarkan sebagai
seorang yang lapang hatinya, sangat terbuka, tidak kolot, dan luas pemikirannya. Tidak terikat dengan
adat tanah kelahirannya. Selalu membebaskan
anak-anaknya dalam memilih jalan hidupnya. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.
“Bagi
Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah kadaluwarsa. Dari kelima
kakaknya, Cuma seorang yang mempersunting gadis sesukunya. „Bhineka Tunggal
Ika!‟ kata ayahnya bangga, menghimpun anak-anak mantu di sekelilingnya.
Syukurlah bahwa orang tuaku begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya,
pikir Manen. Bagi mereka „Indonesia‟ itu bukan Cuma suatu istilah kosong saja,
yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada
peninggalan leluhur Minahasa.” (Katoppo,
2006: 22-23).
Selain
itu orangtua Manen juga sosok yang bijaksana, penyabar, dan penyayang. Mereka
selalu memperhatikan dan mengutamakan pendidikan anak-anaknya, sehingga dapat
mandiri dan tidak banyak bergantung pada orang lain.
“Ayah Manen, melihat insinyur muda itu
tiba-tiba sangat rajin berkunjung, Cuma mengatakan, „Selesaikan pelajaranmu
dulu Romi,‟ -nama kesayangan untuk anak bungsunya- „Zaman sekarang seorang
wanita sebaiknya dapat berdiri sendiri. Apalagi kalau ia dapat turut membangun masyarakat.‟”
(Katoppo, 2006: 43-44).
Nilai
pendidikan yang dapat diambil dari kutipan novel diatas adalah seorang ayah dan
ibu yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa menjadi seorang wanita
haruslah dapat berdiri sendiri, apalagi kalau ia dapat turut membangun
masyarakat.
2. Nilai Moral
Ia
juga yang mengatakan pada Manen bahwa kandungan Manen bermasalah dan terancam
lahir dengan kondisi cacat karena penyakit sifilis keturunan yang ditularkan
oleh Monang.
“Philip
rupanya kurang tahu bagaimana sebaiknya berita nista itu akan disampaikannya
kepada Manen. Dipersilakannya Manen duduk, seraya membaca hasil-hasil tes
laboratorium itu sekali lagi. Memang seperti sudah diduga Manen sendiri: ia
hamil…” (Raumanen, 2006: 124). “Philip
berdiri. Ia tak melihat pada Manen ketika dilanjutkannya, „dengar, Manen.
Anakmu takkan mungkin sehat. Wasserman
test ternyata positif.‟ ” (Katoppo, 2006: 125).
Bogor,
lebih tepatnya di daerah Cibogo, adalah latar tempat yang membuat munculnya konflik dalam novel ini. Di daerah
Cibogo inilah Manen melepaskan
kehormatannya karena tergoda rayuan Monang.
“Turun
dari puncak, mobil Monang mogok di Cibogo, di tengah hujan deras. Kali ini yang
ditumpanginya bukan impala ibunda, tetapi „gerobak proyek‟, jip dinas Monang.”
(Katoppo, 2006: 62). “Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi
buruk bagi Manen. Siapa yang akan dipersalahkan?... Monang, yang mahir merayu?
Dirinya sendiri, yang tak sanggup bertahan? (Katoppo, 2006 : 63)
“Apa
yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang
akan dipersalahkannya? Penjaga bungalow, yang kebetulan sedang mencari
kesempatan „ngobjek‟ di luar pengetahuan majikannya? Monang, yang begitu mahir
merayu? Dirinya sendiri yang tak sanggup bertahan?. Manen menangis
tersedu-sedu, dan Monang tampaknya menyesal. Diusap-usapnya rambut Manen,
seraya berkata: „Raumanen, jangan menangis. Raumanen, aku akan bertanggung
jawab atas kejadian ini. Kita kawin saja...‟” (Katoppo, 2006: 63).
Manen
mengungkapkan perihal kehamilannya yang saat
itu sudah diketahui oleh teman Manen yakni Philip. Monang lebih
memilih untuk menggugurkan kandungan
Manen daripada bertanggung jawab dan menikahi Manen. Monang memilih kenikmatan
guna memenuhi Id dan menghidarkan diri
dari ketidaknyamanan dengan prinsip kenikmatan.
“„Maukah ia menolongmu?‟ Monang salah
mengerti. „Ya, Raumanen, barangkali itu jalan terbaik, sekalipun itu melanggar hukum…‟”
(Katoppo, 2006: 122). Yang dimaksud dengan kata “menolong” adalah membantu
menggugurkan kandungan Manen. Hal itu diperkuat dengan adanya kata “melanggar
hukum”.
Pada Manen, gejala trauma awal terjadi pada
dirinya, namun penggambaran pada cerita
tidak terlalu jelad. Dalam novel ini hanya penulisan kondisi tersebut dengan menggunakan kiasan-kiasan.
“Karena pernah kita begitu bahagia bersama-sama. Menghayati bersama-sama
kecerahan hari hidup kita. Lalu badai
menyambar kita sehingga kita terpisahkan. Tetapi itu bukan cuma
salahmu, Monang....Kapalku kandas,
sedangkan kapalmu berlayar terus tanpa harapan” (Katoppo, 2006 : 4).
Gejala trauma awal yang dialami Manen
membuatnya merasa tertekan, seakan-akan semua orang menyalahkannya atas tindakannya
melakukan hubungan badan tanpa ikatan
pernikahan.
“Apalagi sekarang, pikirnya. Setiap detik menyeretku ke saat terkutuk itu, aku
akan ditelanjangi di hadapan orangtuaku
dan orangtua Monang, keluargaku dan keluarga Monang, teman temanku dan teman-temannya....”
(Katoppo, 2006: 117).
Dalam
kutipan tersebut menunjukkan bahwa “mimpi buruk” yang dimaksud adalah melakukan hubungan badan
namun belum ada hubungan pernikahan.
Di
dalam kutipan diatas juga dapat ditarik nilai-nilai yang berhubungan dengan moral.
Mengajarkan bahwa jangan terlalu buta karena cinta, tetaplah jaga harga diri
terlebih seorang wanita. Jangan sampai kita lalai untuk hal yang paling
berharaga yang satu-satunya kita punya.
3.
Nilai
sosial
Gejolak emosi
Monang memuncak ketika ibunya datang menanyakan perihal apakah istrinya telah
hamil setelah bertahun-tahun mereka menikah. Ibu Monang berperan sebagai impuls
impuls negatif yang menyudutkan id Monang sehingga menyebabkan emosi Monang
bergejolak. Hal itu dikarenakan ibu Monang menentang hubungan Monang dengan
Manen karena perbedaan suku, dan menjodohkan Monang dengan gadis
pilihannya.
“Dan
ingin kuteriakkan kepada perempuan tua ini, yang selalu menangani nasibku sejak
aku dilahirkannya ke bumi ini: „Jangan kau harapkan cucu dariku! Inilah upah
kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima bagi kecongkakanmu…..Dulu kau tak
sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila darahnya bukan darah Batak murni.
„Berbahagialah kau sekarang dengan kemurnianmu Sombu ma roham, inang!” (
Katoppo, 2006:79).
Monang adalah seorang pemuda dengan raut muka
tampan, khas orang Sumatra, rambut ikal
“Seorang laki-laki berambut ikal, raut muka
tampan, tetapi dalam kerlingan matanya
Manen melihat unsur keganasan yang selalu
diasosiasikannya dengan orang Sumatera. Siapakah dia?” (Katoppo, 2006:10).
“Seseorang” di sini yang dimaksud adalah
Monang. Hal itu ditunjukkan dengan
kutipan selanjutnya yang menegaskan hal itu.
“Siapapun
dia, sangat lucu lawaknya. Manen turut tertawa dengan tamu-tamu lainnya.
„Abangku sudah ada lima orang, tetapi selalu masih ada lowongan seorang lagi,
kalau berminat!‟ celetuknya lincah. Tepat waktu itu, ibu rumah muncul.
„Monang!‟ sentaknya, „Apa-apaan lagi kau ini, menakut-nakuti tamuku? Mari,
nak,‟ katanya kepada Manen.”( Katoppo, 2006: 10).