Selasa, 17 September 2019

Analisi Novel Raumanen


NILAI-NILAI DIDAKTIS  NOVELRAUMANEN
 KARYA MARIANNE KATOPO
Disusun Oleh

             Nama                                           NPM
Surtiati Handayani Sinaga         14110145
Grup                           : D
Dosen Pengasuh        :
Surung Siallagan,  M.Pd
Mata Kuliah              :
Kritik Sastra



Sinopsis Novel Raumanen
Pengarang : Marianne Katoppo (9 Juni 1943)
 Penerbit : Gaya Favorit Press
 Tahun    : 1977; Cetakan II, 1986
 Raumanen, yang biasa dipanggil Manen, adalah seorang gadis Manado berumur 18 tahun. Ia aktif dalam kegiatan organisasi di Jakarta. Berbagi acara atau kegiatan yang diselenggarakan organisasinya diikuti Manen. Pada suatu acara ia berkenalan dengan insinyur muda bernama Monang.
Perkenalan antara Manen dan Monang berlanjut terus. Keduanya tidak sekadar sering berjumpa, tetapi kerap dilanjutkan dengan berjalan bersama-sama. Lambat-laun hubungan mereka makin rapat. Manen menyadari bahwa hubungannya dengan insinyur muda itu hanya sebatas hubungan sesama teman. Bahkan ia merasa lebih tepat sebagai seorang “adik” kecil bagi Monang. Jadi, Manen tidak perlu risau pada nasihat teman-temannya yang mengatakan bahwa Monang “si perebut hati wanita” sedang mencari korban berikutnya. Dengan perasaan bahwa dirinya diperlakukan hanya sebagai seorang “adik” dan dalam pandangannya Monang lebih bertingkah laku sebagai seorang kakak terhadapnya, Manen tetap melanjutkan hubungannya dengan Monang.
Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa hubungan mereka meningkat lebih mesra. Kembali, teman-temannya Manen merasa perlu mengingatkannya akan tabiat Monang agar ia menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Di samping itu, ibunya –juga teman-temannya- memperingatkan Manen tentang adat yang mengikat anak laki-laki dari keluarga Batak. Semua peringatan itu ternyata tak membuat Manen memutuskan hubungannya dengan Monang. Sebaliknya, hubungan keduanya makin mesra.
Bagi Manen, rupanya hubungan itu telah menyadarkan dirinya bahwa inilah untuk pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta. Ya, itulah cinta pertamanya. Sebaliknya bagi Monang, Manen termasuk salah satu gadis dari sekian gadis yang ditaklukkannya. Sebenarnya, dapat saja Monang menjadikan Manen sebagai korban yang kesekian dan kemudian meninggalkannya. Namun, keluguan gadis Manado itu telah membuat insinyur muda itu amat menyayanginya; suatu perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi dalam petualangan cinta Monang. Bahkan Monang merasakan baru Manenlah yang mengerti perasaannya. Inilah salah satu alasan yang membuat pemuda itu tak ingin meninggalkan Manen.
 Kemesraan kedua insan itu pada akhirnya sampai jua pada titik yang melampaui batas larangan. Sebuah bungalow di Cibogo merupakan saksi perbuatan mereka. Apa yang terjadi di tempat itu adalah suatu mimpi buruk bagi Manen seumur hidup tak dapat dilupakannya.
Monang berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Ia akan mengawini Manen. “Kalau cuma itu sebabnya hingga kau mau kawin denganku  kurasa lebih baik kaulupakan saja,” kata Manen (hlm. 48). Gadis itu tak mau kawin dengan lelaki yang menikahinya hanya karena terpaksa. Perkawinan harus dilandasi cinta, tegas Manen.
Akan tetapi, Monang rupanya memilih cara lain mengungkapkan cintanya. Tak pernah sekali pun kata cinta keluar dari mulut lelaki itu; padahal, ucapan itu sangat dibutuhkan oleh kekasihnya, Manen. Hal itu juga yang membuat Manen merasa ragu akan niat kekasihnya untuk mengawininya, walaupun pemuda itu sudah berusaha memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya dan mempersiapan rumah yang akan mereka tinggali kelak. Manen masih ragu. Ia terlalu lugu hingga belum dapat menerjemahkan sikap Monang sebagai ungkapan pernyataan cintanya. Ia masih menunggu kekasihnya mengucapkan kata cinta. Namun, Monang tidak pernah mengungkapkan kata itu. Sementara itu, perbuatan yang mestinya tidak mereka lakukan lagi –karena keduanya belum sah sebagai suami-istri- terulang kembali dan terus terulang kembali. Sampai akhirnya, Manen hamil.
 Di lain pihak, Monang berusaha membujuk keluarganya untuk menerima Manen sebagai bagian dari keluarganya, tidak berhasil. Mengingat Monang lahir sebagai anak sulung dalam keluarganya, keputusan keluarga berdasarkan adat Batak adalah: Monang harus kawin dengan gadis sesuku. Inilah keputusan keluarga yang tak dapat diganggu-gugat dan harus dipatuhi.
Berbeda dengan sikap keluarga Monang yang masih kukuh mempertahankan tradisi adat leluhurnya, orang tua Manen “begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya. Bagi mereka Indonesia itu bukan cuma istilah kosong saja, yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan leluhur Minahasa” (hlm. 21).
 Ketika Manen menyampaikan kabar tentang kehamilannya, Monang begitu gembira membayangkan anak, darah dagingnya sendiri. Sebaliknya, Manen sendiri malah merasa takut. Kondisi fisiknya tak mengizinkan punya anak. “Ia akan menjadi buta atau gila apabila melahirkan anak” (hlm. 73). Hasil diagnose seorang dokter, yang juga kawan Manen, menyatakan bahwa anak yang dikandungnya akan lahir cacat. Penyebabnya adalah penyakit syphilis yang diidap Monang. Dokter kemudian menyarankan agar anak yang dikandungnya digugurkan. Tentu saja Manen menolaknya. Ia tak mau membunuh anaknya sendiri. Ia rela menderita, sungguhpun itu disebabkan oleh kehidupan Monang yang tak bersih.
Suatu saat Manen mengurung diri di kamarnya. Ia teringat kisah kasihnya dengan Monang; teringat kebahagiaan dan kesedihannya bersama kekasih pertama sekaligus terakhirnya. Manen tak mampu menutupi rasa salahnya yang dalam. Inilah hasil perbuatannya melanggar ketentuan Tuhan dan “… Aku terbuang selama-lamanya dari Tuhan dan Manusia” (hlm. 92). Manen tak kuasa menerima kenyataan itu. Lalu, ia memilih jalannya sendiri, menghukum dirinyasendiri. Ia lari dari kenyataan hidup. Ia bunuh Source:
  
Nilai-nilai Didaktis Novel Raumanen
1.      Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan merupakan hal-hal penting yang mengajarkan tentang pendidikan didalam suatu karya sastra. Contoh nilai pendidikan pada novel Raumanen karya Marianne Katopo adalah sebagai berikut.
Tokoh orangtua Manen juga tidak disebutkan namanya. Tokoh ini digambarkan sebagai seorang yang lapang hatinya, sangat terbuka, tidak  kolot, dan luas pemikirannya. Tidak terikat dengan adat tanah kelahirannya.  Selalu membebaskan anak-anaknya dalam memilih jalan hidupnya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
“Bagi Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah kadaluwarsa. Dari kelima kakaknya, Cuma seorang yang mempersunting gadis sesukunya. „Bhineka Tunggal Ika!‟ kata ayahnya bangga, menghimpun anak-anak mantu di sekelilingnya. Syukurlah bahwa orang tuaku begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya, pikir Manen. Bagi mereka „Indonesia‟ itu bukan Cuma suatu istilah kosong saja, yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan leluhur Minahasa.”  (Katoppo, 2006: 22-23).

Selain itu orangtua Manen juga sosok yang bijaksana, penyabar, dan penyayang. Mereka selalu memperhatikan dan mengutamakan pendidikan anak-anaknya, sehingga dapat mandiri dan tidak banyak bergantung pada orang lain.
 “Ayah Manen, melihat insinyur muda itu tiba-tiba sangat rajin berkunjung, Cuma mengatakan, „Selesaikan pelajaranmu dulu Romi,‟ -nama kesayangan untuk anak bungsunya- „Zaman sekarang seorang wanita sebaiknya dapat berdiri sendiri. Apalagi kalau ia dapat turut membangun masyarakat.‟” (Katoppo, 2006: 43-44). 
Nilai pendidikan yang dapat diambil dari kutipan novel diatas adalah seorang ayah dan ibu yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa menjadi seorang wanita haruslah dapat berdiri sendiri, apalagi kalau ia dapat turut membangun masyarakat.


2.      Nilai Moral
Ia juga yang mengatakan pada Manen bahwa kandungan Manen bermasalah dan terancam lahir dengan kondisi cacat karena penyakit sifilis keturunan yang ditularkan oleh Monang. 
“Philip rupanya kurang tahu bagaimana sebaiknya berita nista itu akan disampaikannya kepada Manen. Dipersilakannya Manen duduk, seraya membaca hasil-hasil tes laboratorium itu sekali lagi. Memang seperti sudah diduga Manen sendiri: ia hamil…” (Raumanen, 2006: 124).  “Philip berdiri. Ia tak melihat pada Manen ketika dilanjutkannya, „dengar, Manen. Anakmu takkan mungkin sehat.  Wasserman test ternyata positif.‟ ” (Katoppo, 2006: 125).
Bogor, lebih tepatnya di daerah Cibogo, adalah latar tempat yang membuat  munculnya konflik dalam novel ini. Di daerah Cibogo inilah Manen  melepaskan kehormatannya karena tergoda rayuan Monang. 
“Turun dari puncak, mobil Monang mogok di Cibogo, di tengah hujan deras. Kali ini yang ditumpanginya bukan impala ibunda, tetapi „gerobak proyek‟, jip dinas Monang.” (Katoppo, 2006: 62). “Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang akan dipersalahkan?... Monang, yang mahir merayu? Dirinya sendiri, yang tak sanggup bertahan? (Katoppo, 2006 : 63)
“Apa yang terjadi sesudah itu seakan-akan suatu mimpi buruk bagi Manen. Siapa yang akan dipersalahkannya? Penjaga bungalow, yang kebetulan sedang mencari kesempatan „ngobjek‟ di luar pengetahuan majikannya? Monang, yang begitu mahir merayu? Dirinya sendiri yang tak sanggup bertahan?. Manen menangis tersedu-sedu, dan Monang tampaknya menyesal. Diusap-usapnya rambut Manen, seraya berkata: „Raumanen, jangan menangis. Raumanen, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Kita kawin saja...‟” (Katoppo, 2006: 63).
Manen mengungkapkan perihal kehamilannya yang saat  itu sudah diketahui oleh teman Manen yakni Philip. Monang lebih memilih  untuk menggugurkan kandungan Manen daripada bertanggung jawab dan menikahi Manen. Monang memilih kenikmatan guna memenuhi Id dan  menghidarkan diri dari ketidaknyamanan dengan prinsip kenikmatan.
 “„Maukah ia menolongmu?‟ Monang salah mengerti. „Ya, Raumanen, barangkali itu jalan terbaik, sekalipun itu melanggar hukum…‟” (Katoppo, 2006: 122). Yang dimaksud dengan kata “menolong” adalah membantu menggugurkan kandungan Manen. Hal itu diperkuat dengan adanya kata “melanggar hukum”.
            Pada Manen, gejala trauma awal terjadi pada dirinya, namun penggambaran  pada cerita tidak terlalu jelad. Dalam novel ini hanya penulisan kondisi tersebut  dengan menggunakan kiasan-kiasan.
 “Karena pernah kita begitu bahagia  bersama-sama. Menghayati bersama-sama kecerahan hari hidup kita. Lalu badai  menyambar kita sehingga kita terpisahkan. Tetapi itu bukan cuma salahmu,  Monang....Kapalku kandas, sedangkan kapalmu berlayar terus tanpa harapan” (Katoppo, 2006 : 4).
           Gejala trauma awal yang dialami Manen membuatnya merasa tertekan, seakan-akan semua orang menyalahkannya atas tindakannya melakukan  hubungan badan tanpa ikatan pernikahan.
 “Apalagi sekarang, pikirnya. Setiap  detik menyeretku ke saat terkutuk itu, aku akan ditelanjangi di hadapan  orangtuaku dan orangtua Monang, keluargaku dan keluarga Monang, teman temanku dan teman-temannya....” (Katoppo, 2006: 117).

Dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa “mimpi buruk” yang  dimaksud adalah melakukan hubungan badan namun belum ada hubungan pernikahan.
Di dalam kutipan diatas juga dapat ditarik nilai-nilai yang berhubungan dengan moral. Mengajarkan bahwa jangan terlalu buta karena cinta, tetaplah jaga harga diri terlebih seorang wanita. Jangan sampai kita lalai untuk hal yang paling berharaga yang satu-satunya kita punya.
3.   Nilai sosial
Gejolak emosi Monang memuncak ketika ibunya datang menanyakan perihal apakah istrinya telah hamil setelah bertahun-tahun mereka menikah. Ibu Monang berperan sebagai impuls impuls negatif yang menyudutkan id Monang sehingga menyebabkan emosi Monang bergejolak. Hal itu dikarenakan ibu Monang menentang hubungan Monang dengan Manen karena perbedaan suku, dan menjodohkan Monang dengan gadis pilihannya. 
“Dan ingin kuteriakkan kepada perempuan tua ini, yang selalu menangani nasibku sejak aku dilahirkannya ke bumi ini: „Jangan kau harapkan cucu dariku! Inilah upah kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima bagi kecongkakanmu…..Dulu kau tak sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila darahnya bukan darah Batak murni. „Berbahagialah kau sekarang dengan kemurnianmu Sombu ma roham, inang!” ( Katoppo, 2006:79).
Monang  adalah seorang pemuda dengan raut muka tampan, khas orang Sumatra,  rambut ikal
 “Seorang laki-laki berambut ikal, raut muka tampan, tetapi  dalam kerlingan matanya Manen melihat unsur keganasan yang selalu  diasosiasikannya dengan orang Sumatera. Siapakah dia?” (Katoppo, 2006:10). 
 “Seseorang” di sini yang dimaksud adalah Monang. Hal itu ditunjukkan  dengan kutipan selanjutnya yang menegaskan hal itu. 
“Siapapun dia, sangat lucu lawaknya. Manen turut tertawa dengan tamu-tamu lainnya. „Abangku sudah ada lima orang, tetapi selalu masih ada lowongan seorang lagi, kalau berminat!‟ celetuknya lincah. Tepat waktu itu, ibu rumah muncul. „Monang!‟ sentaknya, „Apa-apaan lagi kau ini, menakut-nakuti tamuku? Mari, nak,‟ katanya kepada Manen.”( Katoppo, 2006: 10).